Oleh: Muh. Imran Tahir
Hujan turun di Sinjai ketika seharusnya panas kering memanggang ladang. Awal Juli 2025 ini, hujan deras kembali mengguyur bumi panrita kitta. Awan hitam menggantung di atas desa-desa meresap ke sungai merendam sawah dan menumpuk air di dataran rendah. Lalu longsor pun datang menyapa Kanrung, Gantareng dan Biji Nangka. Desa-desa yang namanya kini muncul di berita dengan kabar jalan putus, rumah terendam dan warga terisolasi.
Bagi sebagian orang, ini hanya banjir musiman. Bagi warga Sinjai yang pernah melewati 2006, ini adalah mimpi buruk yang seharusnya tak lagi terulang. Dua puluh tahun lalu di bulan yang sama, Sinjai pernah diterjang banjir bandang yang memorak-porandakan kampung-kampung di sepanjang aliran sungai. Ribuan orang mengungsi. Lumbung pangan hanyut. Jembatan rubuh, jalan-jalan terputus, dan tanah yang dulu menghidupi berubah menjadi lumpur. Bencana itu menyisakan trauma panjang yang sayangnya mulai memudar di ingatan sebagian orang.
Kini, di era teknologi, kita punya segalanya dengan prakiraan cuaca yang lebih presisi, sistem peringatan dini yang lebih cepat, informasi yang bisa sampai ke ponsel setiap warga hanya dalam hitungan detik. Pada 4 Juli lalu, BMKG Sulawesi Selatan sudah menyampaikan peringatan dini.
Wilayah Sinjai dan beberapa kabupaten lainnya masuk kategori waspada, hujan dengan intensitas sedang sampai lebat. Tapi apa arti peringatan itu kalau hanya dibaca sambil lalu? Wilayah Sulawesi Selatan secara umum dan termasuk Sinjai saat ini sedang menghadapi kemarau basah, istilah yang asing bagi sebagian orang. Di saat seharusnya panas membakar, hujan justru turun bahkan dengan intensitas yang tinggi.
Sungai-sungai meluap karena kawasan hulu kehilangan banyak penyangga hijau. Lahan-lahan gundul di perbukitan berubah menjadi jalur longsor setiap kali hujan mengguyur berjam-jam. Di tengah situasi ini, peran setiap pihak diuji. Pemerintah daerah memegang kunci utama penataan ruang. Tidak cukup sekadar imbauan tapi dibutuhkan kebijakan yang berani dan tegas. Hentikan perambahan hutan di hulu sungai, tata ulang permukiman di lereng rawan longsor dan benahi drainase kota yang selama ini jadi langganan mampet.
BPBD harus hadir bukan hanya sebagai pemadam kebakaran bencana, tapi sebagai garda depan pencegahan. Sosialisasi jalur evakuasi, simulasi bencana, peta rawan longsor dan banjir, semuanya harus rutin diperbaharui dan disosialisasikan ke warga. Gunakan jejaring perangkat Desa, Kelurahan, Kecamatan, relawan pemerhati bencana dan komunitas masyarakat. Jangan menunggu air naik setinggi pinggang baru kebingungan ke mana harus mencari perlindungan.
BMKG sesuai amanah Undang-Undang tentu siap berkolaborasi jika diperlukan untuk pendampingan lebih teknis dalam perancangan infrakstruktur misalnya, peguatan mitigasi berbasis struktural maupun kultural yang pada akhirnya akan memperkuat upaya mitigasi yang sistematis dan berkelanjutan. Bukankah informasi yang sekecil apa pun itu bisa menyelamatkan satu desa, satu keluarga bahkan jiwa manusia?
Pada akhirnya, masyarakatlah benteng terakhir. Kita bisa saling menyalahkan cuaca, sungai, hujan, atau pemerintah. Tapi kalau sungai jadi tempat sampah raksasa, kalau hutan di tebing terus digunduli, kalau rumah terus dibangun di jalur rawan longsor maka banjir dan longsor hanya soal waktu.
Sinjai punya ingatan kelam 2006. Biarlah itu jadi pengingat bersama, bukan sekadar cerita di arsip surat kabar.
Bencana memang tak selalu bisa dicegah, tapi dampaknya bisa ditekan seminimal mungkin kalau kita mau mendengar, mau bersiap, mau bergerak bersama. Hari ini, hujan masih turun. Mungkin besok mendung masih betah di langit. Tapi Sinjai harus siap.
Bukan hanya Pemerintah Daerah, BPBD, BMKG, relawan. Semua harus bergerak. Karena keselamatan kita tidak bergantung pada satu orang, tapi pada semua pihak yang mau belajar dari bencana kemarin.
Sinjai, jangan lupakan bencana 2006!
Karena melupakan hanya akan membuat hanya akan membuat kita mengulang luka yang sama.
Pray for Sinjai.
(Penulis adalah Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG Wilayah IV Makassar)